Dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Rabiulawal atau tanggal 12 bulan Mulud dalam kalender Jawa, Karaton Surakarta Hadiningrat menyelenggarakan upacara Garebeg Sekaten atau Garebeg Mulud yang populer di masyarakat dengan nama Gunungan.
Garebeg Mulud merupakan puncak acara dalam peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW di Nagari Surakarta. Rangkaian upacara yang diawali dengan ngunduraken ( memulangkan kembali ) gangsa sekaten dan mengeluarkan gunungan merupakan pertanda akhir dari prosesi peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Mulud. Sejak dahulu, upacara tradisi keagamaan ini telah menarik minat banyak orang untuk datang. Para pengunjung meluber dari halaman Masjid Agung, Alun-alun utara hingga ke depan Kori Kamandungan, gerbang depan Karaton Surakarta Hadiningrat.
Dimasa silam, sebelum era republik, Garebeg Mulud dimanfaatkan sebagai sarana politik raja untuk mengontrol kekuasaan. Pada kesempatan tersebut para penguasa daerah bawahan yang tersebar di berbagai mancanegara diwajibkan sowan ( menghadap ) pada raja dan sekaligus menyerahkan pajak ke Keraton. Lewat cara tersebut, raja akan mengetahui wilayah-wilayah yang setia atau tidak kepada Keraton.
Gunungan sebagai puncak acara Hajad Dalem Garebeg Mulud
Puncak acara Garebeg Mulud ditandai dengan keluarnya Gunungan Kakung dan Gunungan Estri. Gunungan Kakung dan Gunungan Estri merupakan gambaran akan Lingga dan Yoni, simbol kesuburan masyarakat Jawa. Gunungan sendiri merupakan perangkat upacara yang terbuat dari hasil bumi dan ditata menjulang tinggi layaknya seperti gunung. Bentuk yang menyerupai gunung dipakai sebagai simbolisasi bentuk kesakralan. Sakral karena gunung merupakan tempat bersemayamnya para dewa dan roh para leluhur.
Periode perayaan Garebeg Mulud dengan dikeluarkannya gunungan terbagi dalam dua periode. Periode pertama adalah era pemerintahan Sinuhun Paku Buwana III sampai dengan era Sinuhun Paku Buwana X, dimana perayaan Garebeg Mulud digelar dengan besar-besaran. Kekuasaan dan kewibawaan raja yang besar termanifestasi dalam acara Garebeg Mulud tersebut. Karaton Surakarta pernah mengeluarkan 30 gunungan yang masing-masingnya menggambarkan watak 30 wuku dalam penanggalan Jawa. Terkadang Karaton pun mengeluarkan 24 gunungan ageng ( gunungan kakung dan estri ), 24 gunungan anakan ( kakung dan estri ), dan 24 ancak antaka yang diikuti oleh seluruh pembesar kerajaan. Periode berikutnya ialah masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana XI hingga sekarang, dimana pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan Karaton Surakarta tanpa mengurangi nilai sakralitas upacara Garebeg Mulud itu sendiri.
Gunungan dalam upacara garebeg berisi buah-buahan, sayuran, telur, aneka makanan dari beras serta berbagai bahan pangan lainnya. Berdasarkan bentuk dan namanya, gunungan tersebut melambangkan suatu puncak acara ( gegunungan ) perayaan Sekaten. Bentuk dan keseluruhan bahan pendukungnya mengandung beberapa arti, diantaranya adalah merupakan lambang kemakmuran, melambangkan kesentosaan sekaligus sebagai penolak bala.
Gunungan diplisir dengan kain sindur bangun tulak dan gula klapa ( merah putih ) Pada bagian tengah badan gunungan kakung biasanya dipasang lambang Sri Radyalaksana, dan dipancangkan bendera merah putih. Kedua Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Masjid Agung Surakarta dan akan dirayah ( diperebutkan ) oleh masyarakat yang telah sejak pagi berkumpul menunggu arak-arakan atau kirab gunungan.
Dalam prosesi Garebeg Mulud, Karaton Surakarta Hadiningrat turut pula membagikan koin uang ( udhik-udhik ) di depan pelataran Kori Kamandungan, sebagai simbol sedekah raja kepada rakyat. Antusiasme masyarakat yang masih sangat tinggi dalam rayahan gunungan maupun udhik-udhik ini, memberikan gambaran mengenai tradisi yang lestari dalam kepercayaan masyarakat, bahwa isi gunungan dan koin pemberian raja merupakan sebuah berkah bagi siapa saja yang memperolehnya.
Upacara tradisi Sekaten dalam Garebeg Mulud, merupakan bentuk rasa syukur atas berkah yang diberikan Allah SWT, sekaligus bukti syiar peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Garebeg Mulud juga merupakan sebuah bentuk pelestarian budaya serta tradisi leluhur yang masih bisa kita saksikan setiap tahun pada bulan Rabiulawal atau Mulud.