Dominasi kongsi dagang Belanda di Hindia Timur atas Keraton Surakarta, yang semakin kuat, membuat Sinuhun Pakubuwana IV yang kala itu masih berumur 19 tahun menyadari, kondisi Keraton Surakarta semakin tidak menguntungkan. Ditekennya perjanjian penyerahan sebagian wilayah kerajaan dan pembagian wilayah Mataram dalam Palihan Nagari, serta merta membuat Kekuasaan Keraton Surakarta semakin lemah. Kekuasaan penerus sah Mataram yang seharusnya dimiliki penuh oleh Keraton Surakarta, nyatanya harus terbagi dengan Kesultanan Yogyakarta.
Meski tergolong masih muda, Sinuhun Pakubuwana IV menyadari kondisi politik pemerintahan Keraton yang semakin tidak menguntungkan tersebut. Bertekad mengembalikan kewibawaan Keraton Surakarta, Sinuhun Pakubuwana IV sejak awal memerintah, selalu mengarah kepada kebijakan-kebijakan yang memperkuat Keraton Surakarta dan upaya melepaskan diri dari tekanan kolonial.
Pada masa pemerintahan Sinuhun Pakubuwana IV, beredar sebuah desas desus yang santer beredar. Kabar itu menyebutkan bahwa Sinuhun Pakubuwana IV akan memerangi VOC dan orang orang eropa di tanah Jawa. Pangkal dari kabar itu adalah karena Sinuhun Pakubuwana IV yang kala itu masih berusia 22 tahun, mengganti pejabat-pejabat penting istana dengan orang yang lebih ia percayai.
Beberapa tokoh yang diangkat oleh Sinuhun Pakubuwana IV sebagai abdi dalem, yang dianggap sebagai penyebab berubahnya sikap Sinuhun Pakubuwana IV itu antara lain, Pangeran Panengah, Raden Santri, Kyai Wiradigda, Raden Kandhuruan, Kyai Bahman, dan Kyai Nur Saleh.
Sumber kolonial menyebut para penasehat baru Sinuhun Pakubuwana IV itu sebagai Panepen yang berarti alim ulama. Sedangkan di dalam Babad Pakepung tokoh-tokoh tersebut disebutkan sebagai abdi dalem santri. Munculnya orang-orang baru yang kemudian di deteksi sebagai bagian dari tarekat sufi Shatariyyah. Sinuhun Pakubuwana IV mengangkat tokoh-tokoh tersebut menjadi abdi dalem kinasih, karena nyatanya banyak keputusan politik Sinuhun Pakubuwana IV didasarkan pada nasihat mereka.
Sinuhun Pakubuwana IV juga mulai menerapkan syariat islam di Keraton Surakarta. Pakubuwana IV menjadi giat dalam menyemarakkan kegiatan Masjid Agung Surakarta. Meskipun Masjid Agung sendiri sudah ada sejak perpindahan keraton dari Kartasura, namun pemancangan saka guru atau tiang utama baru dilakukan oleh Pakubuwana III, sedangkan pembangunan sesungguhnya baru dilakukan pada masa Sinuhun Pakubuwana IV pada tahun 1789 Masehi. Bukan hanya membangun secara fisik bangunan, Sinuhun Pakubuwana IV juga rutin hadir dalam melaksanakan sholat jumat, bahkan sering tampil langsung sebagai khatib atau penyampai khotbah di Masjid Agung Surakarta.
Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda, terkena dampak pemecatan karena dinilai tidak taat kepada peraturan agama. Sinuhun Pakubuwana IV mengharamkan minuman keras, madat atau candu. Ketidaksukaan Sinuhun Pakubuwana IV yang kemudian memunculkan kekhawatiran pihak Keraton Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan VOC. Ketiga belah pihak tersebut bersepakat untuk menghadapi Sinuhun Pakubuwana IV.
Desas desus tentang sikap Sinuhun Pakubuwana IV yang ingin merebut dan mempersatukan seluruh wilayah Mataram tersebar dan membuat gentar berbagai pihak. Mangkunegara sendiri mulai mencemaskan masa depannya sendiri dan keturunannya. Sultan Yogyakarta merasa khawatir dengan stabilitas kerajaannya, sedangkan tokoh senior Keraton merasa tersisih mencemaskan nasib mereka. Mereka pun berkongsi mengajak VOC bergabung untuk melawan Sinuhun Pakubuwana IV. Disusunlah sebuah permufakatan untuk menyerang Keraton Surakarta, dengan tujuan memakzulkan Pakubuwana IV.
Pada November 1790, musuh-musuh Sinuhun Pakubuwana IV mulai mengepung Keraton Surakarta. Ribuan prajurit dari Yogyakarta dan Mangkunegaran segera mengepung Keraton Surakarta, sementara VOC mengirim ratusan serdadu Madura,Bugis, Melayu, dan Eropa ikut dalam pengepungan tersebut. Merasa diatas angin, Sultan Hamengkubuwana mulai berpikir tentang kekuasaannya, ia mengusulkan kemungkinan menggabungkan kerajaan Surakarta dengan Yogyakarta dengan putra mahkotanya sebagai raja, jika Pakubuwana IV dilengserkan. Tetapi VOC menolak usulan tersebut.
Peristiwa pengepungan tersebut, tidak sedikitpun membuat gentar Sinuhun Pakubuwana IV. VOC kemudian mengutus Jan Greeve, selaku gubernur VOC untuk Jawa bagian Utara mendatangi Sinuhun Pakubuwana IV. Jan Greeve hanya menuntut supaya Sinuhun Pakubuwana IV menyerahkan para agamawan yang dianggap sebagai biang kerok dalam peristiwa tersebut. Meskipun sebenarnya Pakubuwana IV telah siap dengan meriam dan pasukan yang sudah disiapkan, akhirnya luluh karena bujukan dari para kerabatnya, yakni Pangeran Arya Purubaya dan Raden Adipati Jayaningrat.
Dengan alasan demi keselamatan kerajaan, pada 26 November 1790 Sinuhun Pakubuwana IV menuruti VOC dan menyerahkan Raden Santri, Pangeran Panengah, Raden Kandhuruan, Kyai Bahman, Kyai Nur Saleh, ke Loji Belanda. VOC membawa mereka ke Semarang kemudian selanjutnya mereka dibawa ke Bekasi. Pengepungan Keraton Surakarta pun akhirnya berakhir.
Peristiwa pengepungan Keraton yang sangat dramatis tersebut, kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Pakepung. Meskipun menuruti keinginan VOC, nyatanya Sinuhun Pakubuwana IV tetap teguh menjalankan syariat islam hingga akhir hayatnya.