Mataram merupakan sebuah dinasti kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Panembahan Senapati yang ibu kotanya berkedudukan di Kotagede. Seiring berjalannya waktu pada zaman pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (raja ke tiga Mataram), ibu kota Mataram dipindahkan ke Kerta dan pada zaman pemerintahan Sri Susuhunan Amangkurat Agung (raja ke empat) ibu kota kerajaan ini dipindahkan ke Pleret.
Kedhaton Pleret mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pemberontakan Trunajaya yang terjadi tahun 1677 Masehi. Sri Susuhunan Amangkurat Agung terpaksa harus meninggalkan kedhaton Pleret guna mencari bantuan untuk dapat merebut kembali kedhaton yang sudah dikuasai musuh. Namun, takdir Tuhan berkata lain, belum sempat merebut kembali kedhaton, beliau wafat di Banyumas dan dimakamkan di wilayah Kabupaten Tegal sesuai wasiyatnya ketika menjelang wafat.
Selang setahun dari peritiwa itu, putra Mahkota kerajaan Mataram yang berena Raden Mas Rahmat yang telah dikukuhkan sebagai Sri Susuhunan Amangkurat Amral mengerahkan pasukan untuk membalas serangan Trunajaya. Melalui pertempuran ini Mataram berhasil direbut kembali dan Trunajaya tertangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
Meskipun ibu kota kerajaan berhasil direbut kembali, namun keadaan kedhaton sudah porak poranda. Sri Susuhunan Amangkurat Amral memerintahkan kepada Patih Nerangkusuma untuk membabat hutan Wanakerta sebagai bakal calon ibu kota kerajaan Mataram yang baru sebagai pengganti ibu kota lama yang telah rusak. Usai pembangunan kedhaton di Wanakerta selesai, pada hari Rabo Pon, 27 Ruwah - Alip 1603 Tahun Jawa atau bertepatan dengan 1680 Masehi, Sri Susuhunan Amangkurat Amral secara resmi memindahkan pusat pemerintahan Mataram ke tempat baru tersebut. Kedhaton yang didirikan di hutan Wanakerta tersebut oleh sang raja diberi nama Karaton Mataram Kartasura Hadiningrat yang kemudian diperintahnya hingga tahun 1703.
Mangkatnya Sri Susuhunan Amangkurat Amral pada tahun 1703, menengarai suksesi pemerintahan Mataram yang kemudian dipimpin oleh puteranya yakni Raden Mas Sutikna yang kemudian bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas. Setelahnya, konfllikpun melanda Kartasura. Ketidak bijaksanaan sang raja mengakibatkan beberapa kerabat istana memberontak untuk menyelamatkan Mataram dari kesewenang-wenangan pemimpin. Salah seorang pangeran senior yakni Pangeran Puger melakukan pemberontakan dan berhasil merebut kekuasaan. Takhta Mataram Kartasura pun kemudian diteruskan oleh Pangeran Puger yang merupakan putera Sri Susuhunan Amangkurat Agung sekaligus paman dari Sri Susuhunan Amangkurat Mas.
Pangeran Puger naik takhta menggantikan Sri Susuhunan Amangkurat Mas dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana I pada tahun 1705 Masehi dan berkuasa hingga tahun 1719. Takhta Kartasura kemudian diwariskan kepada putera mahkota yakni Raden Mas Suryaputra yang kemudian bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Jawa dan selanjutnya usai beliau mangkat estafet kepemimpinan kerajaan kembali diwariskan kepada putra mahkota yakni Raden Mas Prabasuyasa yang kemudian bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana II di Kartasura.
Pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana II juga tak luput dari cobaan yang berat sehingga mengakibatkan permasalahan yang serius bagi negeri Mataram. Tahun 1740 – 1742 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia kepada pihak VOC yang disebut dengan Geger Pacinan. Pemberontakan ini lambat laun menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa hingga ke pedalaman. Sri Susuhunan Pakubuwana II awalnya merasa simpatik dengan gerakan ini sehingga beliau memberikan suplai bantuan logistik, persenjataan, bahkan prajurit negara untuk turut menyokong kekuatan pemberontakan ini. Namun, pada perjalanannya pemberontakan ini syarat akan kepentingan politik. Seorang bangsawan Kartasura yang tersingkir dari istana yakni Raden Mas Garendi (keturunan Amangkurat Mas) berkepentingan untuk merebut takhta Kartasura dengan menunggangi pasukan Tionghoa. Kelompoknya menyebarkan fitnah bahwa Sri Susuhunan Pakubuwana II sudah tidak lagi membantu laskar Tionghoa dan berbalik memihak VOC. Keadaan ini menyulut amarah laskar Tionghoa dan mereka kemudian justru melawan balik pihak Kartasura.
Pemberontakan orang-orang Tionghoa yang berafiliasi dengan Raden Mas Garendi ini mengakibatkan rusaknya karaton Kartasura. Bahkan Sri Susuhunan Pakubuwana II pun terpaksa harus lolos dari karaton demi menyelamatkan diri dan mengungsi ke Ponorogo sembari mengumpulkan kekuatan dan menyusun strategi untuk mengambil alih kembali Kartasura dari tangan musuh.
Kembalinya Sri Susuhunan Pakubuwana II dari Ponorogo pada tahun 1743 setelah berhasil merebut Kartasura, beliau menyaksikan kehancuran istana Kartasura. Dalam kepercayaan Jawa apabila istana telah dibedhah oleh musuh, maka harus segera dicarikan penggantinya. Sri Susuhunan Pakubuwana II kemudian memerintahkan kepada Tumenggung Hanggawangsa, Kyai Kalipah Buyut, Tumengung Tirtawiguna, Kyai Ngabehi Yasadipura, Mas Pengulu Pekih Ibrahim, Pangeran Wijil, Adipati Pringgalaya, Adipati Sindureja, Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Puspanegara, dan Mayor Baron van Hogendorf untuk mencari tempat yang layak dijadikan ibu kota baru Mataram sebagai pengganti ibu kota Kartasura.
Alkisah terpilihlah tiga tempat yang diusulkan kepada sang raja untuk dijadikan calon ibu kota Mataram yang baru yakni desa Talangwangi Kadipala, desa Sala, dan desa Sanasewu. Desa Talangwangi Kadipala dan desa Sanasewu sebenarnya merupakan tempat yang rata dan mudah untuk didirikan bangunan, namun keduanya tidak dipilih karena dalam wawasan spiritual kedua tempat tersebut tidak baik bagi masa depan kerajaan. Pilihan satu-satunya jatuh pada desa Sala yang dikepalai oleh Ki Gede Sala. Desa ini sebenarnya secara geografis tidak mudah untuk didirikan bangunan karena merupakan desa yang dikelilingi rawa, sehingga perlu untuk diurug dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum didirikan bangunan istana. Namun demikian, berdasarkan beberapa pendapat para pujangga kerajaan bahwa di desa tersebut secara spiritual akan sangat baik bagi masa depan Mataram dan akan kuat berusia hingga 200 tahun di ibu kota baru itu dan setelahnya akan mengantarkan pembebasan bangsa Jawa dari belenggu orang-orang asing.
Oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II desa Sala tersebut kemudian dibeli dengan harga 10.000 ringgit yang dibayarkan kepada Ki Gede Sala. Pengerjaanyapun segera dimulai. Rawa telah diratakan dan dikeringkan. Kompleks inti istana telah dibangun. Pada tanggal 17 Sura Je 1670 Jawa atau 20 Februari 1745 Masehi jam 8 pagi Sri Susuhunan Pakubuwana II berserta segenap punggawa kerajaan dan rakyak Mataram Kartasura berpindah / melakukan Boyong Kedhaton ke ibu kota baru yang didirikan di atas desa Sala tersebut. Sebagaimana dalam kutipan serat Babad Surakarta pupuh Dhandanggula berikut.
Sigra jengkar saking Kertawani,
Ngalih Kadhaton mring dhusun Sala,
Kebut sawadyabalane,
Busekan saprajagung,
Pinengetan angkate nguni,
Anuju ari Buda,
Enjing wancininpun,
Wimbaning lek ping saptawelas,
Sura Eje Kombulingpudya Kapryarsi,
Ing Nata kang sangkala.
Sesampainya rombongan Sri Susuhunan Pakubuwana II di kedaton yang baru itu, sang raja kemudian duduk di Bangsal Pangrawit yang dibawa dari Kartasura. Para punggawa kerajaan menghadap disekelilingnya. Segenap rakyat Jawa dan Belanda berkumpul di alun-alun utara. Sri Susuhunan di hadapan para kawula itu kemudian bersabda “heh kawulaningsun, wiwit dina iki dhusun Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun ganti dadi nagara, nama Surakarta Hadiningrat”. Kurang lebih artinya bahwa mulai hari ini desa Sala saya ambil namanya, saya ganti menjadi negara yang bernama Surakarta Hadiningrat. Sebagaimana kutipan serat Babad Surakarta pupuh Dhandanggula berikut.
Nata lenggah ing bangsal Pangrawit,
Para upsir kalwan kumendhan,
Samya ngadeg ning kanane,
Bangsal lenggahan prabu,
Pra prajurit banjeng abaris,
Kumpeni miwah Jawa angeng alun-alun,
Sri Narendra lon ngandika,
Dhusun Sala ingalih nama Nagari, Surakarta Diningrat.