Semua pusaka wayang peninggalan Karaton Surakarta sejak era Kartasura hingga Surakarta secara keseluruhan berjumlah 18 kotak. Mulai dari wayang pusaka kelas atas seperti Kanjeng Kiai Kadung, Kanjeng Kiai Jimat, dan Kanjeng Kiai Dewa Katong hingga beberapa wayang pusaka kelas dibawahnya seperti Kiai Pramukanya, Kiai Sukarena, Kiai Sri Wibawa, Kiai Mangu, Kiai Krucil, Kiai Dagelan, dan beberapa kotak wayang lainnya.
Salah satu upaya dari Karaton Surakarta Hadiningrat untuk melestarikan pusaka peninggalan leluhur yang salah satunya berwujud wayang, Karaton Surakarta Hadiningrat rutin menggelar Ritual Ngisis Wayang. Ritual Ngisis Wayang sendiri merupakan prosesi ritual sebagai cara pemeliharaan anak wayang untuk menghindari dari potensi kerusakan. Sebagai upaya melindungi sekaligus pencegahan dari berbagai faktor alam seperti jamur, serangga, dan lain sebagainya yang dapat merusak bentuk dan motif sunggingan wayang.
Pada Kêmis Kliwon 10 Rabingulakir Warsa Jimawal 1957 (26 Oktober 2023 ), salah satu kotak wayang yang disimpan di gedung penyimpanan pusaka wayang Karaton Surakarta diangkut untuk di-isis ( dianginkan ). Kotak wayang yang mendapat giliran di-isis pada kesempatan ini adalah Kiai Sri Wibawa karya Sri Susuhunan PB X yang dibuat pada 1839 tahun Jawa. Kotak wayang Kiai Sri Wibawa sendiri merupakan jenis wayang Gedhog, yang pada dasarnya tidak menggunakan cerita Mahabarata atau Ramayana namun menggunakan cerita Panji.
Ketentuan dalam ritual ngisis wayang tersebut di antaranya berupa memberi sesaji (caos dhahar), memanjatkan doa, serta mengeluarkan wayang dan dibersihkan. Seluruh orang yang terlibat dalam kegiatan ngisis juga harus memakai busana Kejawen Jangkep, dan kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan di sembarang tempat, karena acara ngisis pada hakikatnya merupakan acara resmi yang melibatkan benda-benda yasan dalem atau kagungan dalem.
Dalam rangkaian ritual ngisis wayang Kiai Sri Wibawa kali ini, dimulai dari mengeluarkan kotak wayang yang dikeluarkan dari gedhong Lembisana dengan diangkat oleh sekitar delapan abdi dalem kemudian dibawa menuju Sasana Handrawina. Setelah sampai di dalam Sasana Handrawina, para abdi dalem menyiapkan sesaji dan perlengkapan yang diperlukan dalam kegiatan ngisis tersebut. Ritual ngisis wayang dilanjutkan dengan membakar dupa, memberi sesaji (caos dhahar) sekaligus memanjatkan do’a di depan kotak wayang yang akan di-isis untuk menghindari berbagai gangguan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, selama prosesi ngisis tersebut dilaksanakan.
" Kiai Sri Wibawa merupakan karya Sri Susuhunan PB X yang dibuat pada 1839 tahun Jawa. Kotak wayang Kiai Sri Wibawa sendiri berisi wayang dengan jenis wayang Gedhog, yang pada dasarnya tidak menggunakan cerita Mahabarata atau Ramayana namun menggunakan cerita Panji."
Setelah kotak wayang dibuka, wayang kemudian dikeluarkan satu persatu dari dalam kotak mulai dari eblek paling atas sampai yang terakhir. Wayang Kayon (gunungan) dan tokoh Bathara Guru ditempatkan pada tali dan selembar kain putih (mori) yang sebelumnya telah dibentangkan pada tiang di Sasana Handrawina, dan Wayang simpingan tengen dan simpingan kiwa kemudian di-isis dengan cara ditata dan digantungkan pada tali tersebut secara berurutan. Wayang dhudhahan dan ricikan di-isis dengan tidak digantungkan pada tali melainkan tetap diletakkan di atas gawangan atau tancepan. Semua wayang tersebut di angin-anginkan di Sasana Handrawina. Setelah di-isis wayang kemudian dimasukan kembali ke dalam kotak dan ditata sesuai urutan semula, kemudian kotak tersebut dikembalikan kembali ke dalam gedhong Lembisana.
Kegiatan ritual ngisis tersebut, diharapkan dapat menjaga kondisi perangkat wayang koleksi keraton agar tetap terawat dan terjaga keutuhannya.