Mei 1629, Parade iring-iringan pasukan Mataram yang hendak menyerbu Batavia mulai bergerak dari Karta. Rencana penyerangan Batavia kali kedua ini dipersiapkan dengan sangat hati-hati oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Menunjuk Adipati Ukur sebagai pemimpin pasukan artileri dan amunisinya, gelombang pasukan pertama ini, berangkat menuju Batavia pada bulan Mei 1629. Gelombang kedua pasukan Mataram dipimpin oleh Adipati Juminah, yang berangkat pada 20 Juni 1629, membawa barisan pasukan infanteri dan kavaleri ke Batavia.
Mataram dalam penyerbuan ke Batavia, menyiapkan ribuan pasukan yang sebagian berasal dari daerah-daerah taklukkannya. Pasukan dari Pasuruan, Tuban, Madura, Surabaya, Wirasaba, Lasem, Sumedang, dan Cirebon berkumpul dalam konvoi besar menuju Batavia. Mataram juga telah menyiapkan bekal logistik makanan, yang disimpan di tempat penyimpanan makanan sepanjang rute ke Batavia.
Bangsal Witana dengan bangunan kecil, Bale Manguneng, digunakan untuk menyimpan benda pusaka berupa Meriam Nyai Setomi
Dalam penyerangan ke Batavia ini, Sultan Agung Hanyakrakusuma turut membawa pasukan gajah dan meriam-meriam yang dipersiapkan untuk menggempur tembok Batavia. Salah satu meriam yang dibawa oleh Sultan Agung dalam penyerangan ke Batavia ini adalah sepasang meriam Kyai Setomo dan Nyai Setomi.
Kini, meriam pusaka Kyai Setomo disimpan di museum Nasional Jakarta, sedangkan pasangannya meriam Nyai Setomi disimpan di Bale Manguneng, bangunan kecil yang dikrobong atau ditutup , tepatnya berada di tengah - tengah Bangsal Witana, komplek Sitihinggil Keraton Kasunanan Surakarta.
Meriam Nyai Setomi panjangnya mencapai tiga setengah meter, dan merupakan meriam yang paling dikeramatkan di lingkungan Keraton Surakarta. Sebab, jika pusaka lain dijamasi satu kali dalam satu tahun, berbeda halya dengan Nyai Setomi yang dijamasi dua kali dalam setahun, yakni ketika Grebeg Besar ( Idul Adha ) dan Grebeg Mulud ( Peringatan kelahiran nabi Muhammad )
Selain sebagai senjata, Nyai Setomi juga merupakan saksi ikrar para raja Keraton Kasunanan Surakarta. Karena posisi meriam menghadap utara, sedangkan pangeran yang hendak bertahta menjadi raja berikrar berada di depannya menghadap ke selatan. Tata letak ini berarti bahwa menjadi seorang raja haruslah siap menghadapi cobaan yang berat dan siap menerima benturan.
Meriam yang konon ikut serta dalam penggempuran benteng Batavia ini, sampai sekarang menjadi pusaka dan warisan peninggalan Mataram yang masih di lestarikan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat.