Kirab malem 1 Suro adalah tradisi turun temurun dari keraton Kasunanan Surakarta yang dilakukan untuk memperingati datangnya Tahun Baru Jawa. Sura atau Suro merupakan nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Malem 1 Suro adalah malam tahun baru Jawa yang memiliki nilai sakralitas tinggi bagi masyarakat Jawa. Untuk menyambut tahun baru tersebut, keraton Kasunanan Surakarta rutin menggelar kirab atau iring-iringan dengan diikuti oleh seluruh abdi dalem keraton.
Sejarah malem 1 Suro.
Di kisaran 1628-1629, Raja Mataram Islam - Sultan Agung Hanyakrakusuma pasca penyerangannya ke Batavia. Beliau menginginkan adanya persatuan pasukan dan rakyatnya, karena menurutnya pasukan Mataram telah terbagi dalam berbagai pandangan keyakinan, disebabkan perbedaan pandangan dalam beragama. Sultan Agung lantas merumuskan pembuatan kalender tahun Jawa-Islam (penggabungan tahun Saka Hindu dengan Tahun Islam).
Di malam tahun baru tersebut (Malam 1 Suro), Sultan Agung menciptakan sebuah kebudayaan Jawa. Di malam tahun baru tidak boleh berbuat sembarangan, prihatin, dan tidak boleh berpesta. Hal yang perlu dilakukan pada malam tersebut adalah menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan. Karena tanggal 1 Muharram atau 1 Suro saat itu jatuh pada Jumat Legi, akibatnya hari tersebut ikut dikeramatkan. Bahkan, sebagian orang menganggap akan terjadi kesialan jika hari tersebut dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal selain mengaji, ziarah, dan haul. Dari sejarah tersebut, akhirnya Malam 1 Suro dianggap sebagai awal dari tahun baru yang sakral.
Prosesi Kirab Malem 1 Suro.
Termasuk yang dikirab dalam malem 1 Suro adalah pusaka-pusaka keraton beserta dengan kebo bule ( kerbau putih ) Kyai Slamet. Kebo bule Kyai Slamet adalah klangenan -peninggalan dari Sinuhun Pakubuwana II, hadiah dari bupati Ponorogo, yang sampai sekarang masih dilestarikan sebagai pusaka keraton Surakarta. Pemberian nama Kyai Slamet, konon memang kebo bule ini mengiringi pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet, sehingga dinamakan demikian. Dalam kirab, Kebo bule akan berada dalam barisan depan sebagai cucuk lampah. Kerbau sendiri merupakan simbolisasi keraton Kasunanan Surakarta sebagai sebuah kerajaan Agraris.
Kirab diawali dengan doa-doa dan penebaran sesajen di depan Kori Kamandungan oleh para abdi dalem keraton sambil menanti datangnya kebo bule. Kerbau-kerbau keramat itu akan dilepas dan dibiarkan berjalan sendiri. Tidak boleh ada paksaan pada kerbau. Setelah itu raja dan keturunannya, beserta abdi dalem, akan mengikuti di belakang kerbau dengan barisan yang rapi.
Semua peserta kirab malem satu Suro menggunakan pakaian hitam, para wanita memakai kebaya berwarna hitam, sedangkan laki-laki memakai pakaian adat Jawa berwarna hitam atau busana Jawi jangkep. Para abdi dalem beserta keluarga keraton Kasunanan akan berjalan dibelakang barisan kebo bule dan selama kirab tak satupun peserta mengucapkan satu patah kata pun. Hal ini bermakna sebagai perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama satu tahun kebelakang.
Kirab malem 1 Suro merupakan bentuk pelestarian tradisi leluhur sebagai penanda bergantinya tahun. Bertujuan sebagai peringatan dan refleksi diri, dengan harapan, menjadi manusia yang lebih baik di tahun mendatang.