Malem selikuran adalah tradisi peringatan Nuzulul Qur'an di malemam Sriwedari, Surakarta yang digelar oleh keraton Surakarta. Gelaran ini berlangsung pada tanggal 21 Ramadhan, diilhami oleh Serat Ambya yang menyebutkan bahwa tiap tanggal gasal sejak tanggal 21 bulan Ramadhan Nabi Muhammad SAW, turun dari gunung Nur setelah menerima ayat-ayat suci Al-Qur'an. Keraton Surakarta memperingati peristiwa besar itu dengan mengadakan upacara yang disebut malem selikuran.
Sejarah malem selikuran.
Tradisi Malem Selikuran pada mulanya dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Namun dalam perjalanannya, tradisi malem selikuran mengalami pasang surut. Tradisi ini kemudian mulai dikembangkan lagi pada masa Sinuhun Paku Buwana IX. Tradisi malem selikuran selanjutnya dilanjutkan oleh Sinuhun Paku Buwana X hingga sekarang. Di masa Sinuhun Pakubuwana X, malem selikuran diselenggarakan dengan kirab, iring-iringan dari keraton Surakarta menuju Masjid Agung, lantas diteruskan menuju lapangan Sriwedari. Pada masa Sinuhun Paku Buwana X arak-arakan dari keraton menuju Taman Sriwedari diawali oleh Kyai Siswanda, kereta harian Sinuhun Paku Buwana X, kemudian berturut-turut diikuti oleh pusaka keraton yang dibawa oleh barisan Pakasa ( Paguyuban Karaton Surakarta ), barisan jodhang berisi nasi dan jajan pasar yang dipagari iringan lampu ting. Setiba di Sriwedari, pembacaan doa dilangsungkan untuk keselamatan bagi negara. Malem selikuran era Paku Buwana X di Taman Sriwedari ini dimulai pada tahun 1982, yang diprakarsai oleh Keraton Surakarta.
Prosesi tradisi malem selikuran.
Malem Selikuran dilakukan dengan mengarak tumpeng yang diiringi dengan lampu (ting) dari keraton Surakarta menuju masjid Agung Surakarta. Jumlah nasi tumpeng yang diarak sebanyak seribu buah. Tumpeng tersebut diletakkan dalam Ancak-cantoka dalam formasi berjajar dua-dua dan diapit oleh para abdi dalem keraton.
Ketika rombongan tumpeng sampai di masjid Agung, kemudian tumpeng tersebut didoakan oleh pemuka agama keraton. Setelah selesai, tumpeng akan dibagikan kepada para abdi dalem pengiring serta masyarakat yang ada di masjid Agung. Berbeda dengan Grebeg, tumpeng seribu dibagikan tanpa adanya rayahan atau berebut. Abdi dalem pengiring dan masyarakat menunggu jatah pembagian tumpeng sembari duduk bersila di pelataran masjid.
Unsur penting dan makna malem selikuran keraton Kasunanan Surakarta diantaranya adalah :
1. Lampu Ting. Lampu ting adalah lampu penerang atau pelita yang berjumlah cukup banyak sebagai penerang dalam prosesi malem selikuran. Lampu ting akan dibawa para abdi dalem mengiringi jalannya kirab dari keraton Surakarta menuju masjid Agung. Lampu ting ini, melambangkan cahaya obor yang digunakan para sahabat Nabi ketika menyambut Nabi Muhammad turun dari Jabal Nur dalam keremangan malam. Kirab dengan membawa lampu ting seolah menjadi peringatan tentang cahaya atau nur yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Tumpeng seribu. Tumpeng kecil berjumlah seribu diletakkan dalam takir ( tempat nasi dari daun pisang ) Tiap takir terdiri dari nasi gurih, kedelai hitam, rambak, cabe hijau dan mentimun. Seribu tumpeng bermakna pahala yang didapatkan ketika ikhlas beribadah di malam Lailatul Qadar.
3. Ancak Cantoka. Ancak cantoka berjumlah 24 berada di belakang barisan lampu ting. Ancak artinya tempat makanan, sedangkan cantoka artinya kodok. Ancak cantoka dapat dipahami sebagai jodang ukuran kecil yang bentuknya seperti kodok terbuat dari besi dan kuningan. Dalam jodang tersebut berisi takir-takir nasi beserta ubo rampenya.
sumber gambar : featured image : kompas.com/Anggara Wikan Prasetya. (1)Antara foto/Mohammad Ayudha. (2) kompas.com/Fristin Intan Sulistyowati.