Pasinaon Sejarah

Tradisi - Wilujengan Nagari Mahesa Lawung

M.Ng. S. Adiprojo
December 14, 2023

Tradisi upacara adat merupakan salah satu kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang, yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan YME atas apa yang telah diberikan. Salah satu upacara adat yang masih dilestarikan oleh keraton Kasunanan Surakarta adalah tradisi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung.

Pundhen Krendowahono - tempat upacara Mahesa Lawung

Secara istilah Mahesa berarti kerbau, sedangkan Lawung berarti tombak, karena konon pengorbanan kerbau tersebut dengan cara ditombak. Maka tradisi mahesa lawung ini memiliki ciri khas yakni sebuah tradisi upacara adat dengan memberikan sesaji berupa kepala kerbau yang dilakukan oleh keraton Kasunanan Surakarta.

Acara Mahesa Lawung diselenggarakan setiap senin atau kamis bulan Bakda Mulud (pisowanan terakhir ), bertempat di pundhen alas Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar. Adapun proses ritualnya masih sangat sakral diikuti oleh kerabat keraton dengan membawa sesaji yang sudah ditentukan secara turun temurun. Prosesi utama upacara Mahesa Lawung adalah mengubur kepala kerbau jantan yang belum pernah bekerja atau kawin sebelumnya.

upacara pemanjatan doa di Bangsal Sewayana Siti Hinggil

Sejarah Mahesa Lawung
Upacara untuk ketentraman, keamanan negara dan menjauhi dari poncoboyo yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Jawa sudah terjadi pada tahun 387 M yaitu pada masa pemerintahan Prabu Sitawaka dari Kerajaan Giling Ngaya disekitar Gunung Prangango Gede Jawa Barat. Pada masa itu Kerajaan mengalami goncangan baik alam, gangguan musuh maupun wabah penyakit, kemudian Sang Raja menggelar rapat untuk membahas tata cara dan langkah-langkah agar Negara terbebas dari mara bahaya yaitu dengan melaksanakan upacara sesaji Raja Wedha Wilujengan Nagari dan Bhuwono. Adapun tata caranya dibagi menjadi 2 bentuk yaitu untuk Kerajaan melaksanakan sesaji Raja Wedha, sedangkan rakyat menggelar sesaji Grama Wedha atau istilah populernya upacara bersih Desa. Waktu pelaksanaan secara serentak di bumi Jawa jatuh pada saat perubahan Tahun / Tahun baru saka.

Pada masa Sri Prabu Ajipamasa, Kerajaan Pengging diserang dan diduduki musuh danawa dari Ngima-imantaka. Atas ulah para raksasa tersebut rakyat Pengging sangat menderita. Sri Prabu Ajipamasa kemudian menugaskan Patih Tambak-baya supaya menyiapkan seekor kebolawung beserta perangkat sesaji dan mengadakan wilujengan maesalawung ke hutan Krendhawahana. Seusai wilujengan, suasananya negeri menjadi aman, tenteram, tidak terjadi gangguan apa pun. Sejak itu wilujengan-nagari Rajaweddha berubah nama menjadi wilujengan Maesa Lawung.

Pada masa pemerintahan Kasultanan demak Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar I ( 1439 ), yaitu Raja tanah Jawa yang mengembangkan agama Islam, adat tata caranya Karaton Kabudhan majapahit sedikit demi sedikit ditinggalkan dan akhirnya tidak diadakan karena dipandang tidak sesuai dengan pranatan dan pandangan hidup baru tersebut. Baru setelah Kesultanan Demak bertubi-tubi dilanda malapetaka sampai menimbulkan kesengsaraan dan keprihatinan mendalam bagi seluruh masyarakat, Sultan Demak menyetujui diadakan wilujengan nagari berupa wilujengan Rajaweddha ( Maesa Lawung ) sebagaimana adat wilujengan yang dilakukan oleh Karaton Majapahit. Dalam rangka pelaksanaan wilujengan dan sesaji Rajaweddha tersebut, para punggawa praja, sunun Bonang, dan Sunan Giri ditugaskan mengatur pelaksanaan acara sesuai dengan acara wilujengan Rajaweddha yang pernah dilakukan oleh Karaton Majapahit.

Tempat Upacara
Upacara Mahesa Lawung yang diselenggarakan keraton Kasunanan Surakarta, digelar dengan upacara pemberian sesaji di Krendhowahono. Pundhen Krendowahono dipercaya sebagai salah satu dari empat penjuru penting bagi keraton Surakarta. Punden di hutan Krendowahono memiliki nilai magis yang kuat sebagai lawang gapit utara tempat bersemayamnya Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati, putri dari Bathari Durga.

Sesaji
Media utama dari sesaji yang diberikan adalah kepala kerbau. Selain itu, juga disiapkan hasil alam yang meliputi buah dan umbi-umbian. Turut menjadi sesajen adalah jajan pasar serta “ lele sajodho kendhil ” ( Lele sepasang yang dimasukkan dalam wadah kendhil ). Kendhil harus diisi dengan air “tempuran” atau air dari pertemuan dua arus sungai. Karena air pertemuan dari dua arus sungai memiliki energi yang dapat digunakan sebagai sarana meditasi.

Urutan acara Mahesa Lawung
Prosesi acara dimulai dengan mengusung ubarampe sesaji dari dalem Gondorasan ke Bangsal Sewayana kompleks Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Setelah melakukan upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung, maka sesaji akan dibawa ke hutan Krendowahono. Urutan upacara ritual yang diselenggarakan di hutan Krendowahono dimulai dengan menata sesaji di atas pundhen yang berada di bawah pohon beringin putih di tengah hutan yang dipercaya sebagai tempat sakral sekaligus kedhaton dari Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati. Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati merupakan putri Bathari Durga yang dipercaya sebagai penguasa bangsa jin, brekasakan, drubiksa, priprayangan, ilu-ilu, banaspati, wewe, gandarwa, dan berbagai jenis makhluk gaib lainnya.

penguburan kepala kerbau

Setelah sesaji selesai ditata, kemudian salah satu ulama keraton mendapat perintah dari Pengageng Sasana Wilapa untuk membuat perapian, kemudian dimulailah acara ritual dengan pembacaan doa yang oleh ulama keraton dan abdi dalem Suranata. Dilanjutkan dengan pemanjatan doa secara pribadi oleh masing-masing putra sentana yang dilakukan secara bergiliran dengan menaiki pundhen dibawah pohon beringin putih. Upacara berikutnya adalah mengubur kepala kerbau di hutan Krendowahono yang letaknya tidak jauh dengan keberadaan pohon beringin putih, sementara sesaji-sesaji yang lain diturunkan dari atas pundhen dan dibawa ke sebuah pendhapa yang letaknya bersebelahan dengan pundhen tersebut. Sesaji yang telah diturunkan kemudian dibagikan kepada para abdi dalem dan kawula dalem yang mengikuti prosesi ritual sesaji Mahesa Lawung hingga selesai.

Tradisi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung yang digelar di hutan Krendowahono merupakan tradisi turun temurun warisan leluhur yang masih dilestarikan oleh keraton Kasunanan Surakarta sampai sekarang. Tradisi ini adalah bentuk permohonan doa keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sekaligus doa keselamatan untuk Negara Indonesia dan seluruh rakyatnya.

Narasumber : Raden Mas Riyo Panji Restu B. Setiawan S.Pd. M.Pd.

Sumber gambar : Featured Image : Inung R. Sulisyto/BeritaSukoharjo.com/ (1) correcto.id/ foto: pitaapuspitaa

Share this post
Tag 1
Tag 2
Tag 3
Tag 4