Pasinaon Sejarah

Wewangunan Karaton Surakarta ( Alun-alun Lor )

Museum & Tourism Karaton Surakarta
November 2, 2024

Alun-alun pada dasarnya adalah sebuah lapangan besar yang bisa dijumpai di seluruh kota di Jawa. Keberadaan alun-alun telah ada sejak era Majapahit hingga berdirinya kerajaan Mataram islam. Pada periode itu, alun - alun merupakan bagian dari kompleks Karaton sekaligus menjadi simbol legitimasi kekuasaan seorang raja. Keberadaan alun-alun sendiri tak dapat dipisahkan dari struktur tata ruang dari sebuah kerajaan, yang kemudian diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia, dimana sebuah ruang terbuka luas disediakan di depan kantor pemerintahan.

Alun - alun utara Karaton Surakarta ( 1909 )

Keberadaan alun-alun tak bisa dilepaskan dari Wanguntur dalam naskah Nagarakrtagama atau Manguntur yang disebutkan dalam naskah Bujangga Manik. Wanguntur atau Manguntur merupakan alun-alun Majapahit. Pada teks Nagarakṛtāgama disebutkan pada bagian tengah Wanguntur/Manguntur terdapat Balai Witana sebuah bangunan berumpak yang terletak di tengah ruang terbuka ( alun-alun ). Balai Witana ini digunakan oleh Raja Hayam Wuruk dan bangsawan Majapahit menyaksikan pertandingan Watangan atau sejenis olahraga berkuda dengan tombak tumpul. Pada masa Majapahit, alun-alun merupakan representasi dari Bhuvarloka atau dunia manusia yang telah meninggalkan hasrat keduniawiannya, kecuali satu hasrat untuk dapat bertemu dengan dewa.

Alun-alun utara dengan Tratag Rambat ( Pagelaran Sasana Sumewa ) dan dua meriam, Kyai Pancawura dan Kyai Swuhbrasta

Seiring berkembangnya waktu, kedudukan Balai Witana di tengah alun-alun digantikan oleh pohon beringin (Ficus benjamina) yang tidak dapat dilepaskan dari pohon bodhi (Ficus religiosa) yang masih satu genus. Balai Witana kemudian bertransformasi menjadi Bangsal Witana yang merupakan bangsal sangat penting bagi keraton yang terletak di Siti Hinggil.

Keberadaan alun-alun tersebut diteruskan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa kemudian. Salah satunya adalah Karaton Surakarta yang masih memiliki dua alun-alun dalam tata ruang kerajaannya.

Alun - Alun Lor

Alun-alun lor ( Utara ) adalah sebuah halaman terbuka luas berukuran 83.383 meter persegi. Alun-alun lor merupakan halaman luas berumput yang difungsikan pula sebagai halaman depan atau pelataran depan dari Karaton Surakarta.

Sebuah jalur jalan dibuat ditengah alun-alun yang membelah tepat ditengah alun-alun yang kemudian disebut sebagai Jalan Paku Buwanan, membuat alun-alun terkesan menjadi dua halaman sama besar di sisi kiri dan kanan.

Bentuk Tata Wewangunan ( tata ruang ) dari Karaton Surakarta sebenarnya melestarikan bentuk tata ruang dari keraton-keraton Jawa sebelumnya, dan bentuk tata ruang keraton Jawa menyerupai Tata Wewangunan Kahyangan Sang Hyang Hendra atau Kahendran di Suralaya. Hal ini membuat seluruh bangunan di Karaton memiliki makna tertentu sebagaimana terdapat pada pasemon kadewatan, termasuk alun-alun dan tumbuhan di sekitarnya.

Waringin sakembaran atau Waringin kurung di area alun-alun Utara

Tepat di tengah alun-alun utara ( Lor ) ditanami pohon beringin yang dikurung dalam pagar besi, yang dikenal dengan sebutan ringin kurung sakembaran. Masing - masing bernama Kyai Jayadaru dan Kyai Dewadaru. Dewandaru berasal dari kata Dewa dan Daru atau cahaya yang dapat diartikan cahaya kedewaan. Sementara itu, Jayandaru berasal dari kata Wijaya dan Daru yang dapat diartikan sebagai cahaya kemenangan. Sepasang pohon beringin ini ditanam bersama-sama dengan berdirinya Karaton Surakarta, dalam upacara perpindahan keraton atau boyong kedhaton dari Kartasura. Dalam cerita Jawa kuno, sering disebutkan bahwa hanya Rajalah yang berwenang memelihara ringin kurung satancep ( sepasang yang terpadu ). Sejak ditanam pohon beringin ini selalu dikelilingi dengan oleh pagar besi ( dahulu bercat prada emas ).

Disamping itu masih terdapat empat buah pohon serupa. Beringin Kyai Jenggot yang ditanam di  Barat Daya, Beringin Wok di Timur Laut, Beringin Gung di Tenggara, dan Beringin Bitur di Barat Laut. Sementara sejumlah beringin lain ditanam di sepanjang tepi Alun-alun sebagai pasren atau peneduh.

Alun-alun lor ini dulu difungsikan sebagai tempat berlatih keprajuritan, juga difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan perayaan adat, seperti Sekaten. Bahkan alun-alun lor juga difungsikan kawula ( rakyat ) untuk menyampaikan aspirasinya kepada raja dalam bentuk tapa pepe ( berjemur di terik matahari untuk mendapatkan perhatian dari raja ).

Share this post
Tag 1
Tag 2
Tag 3
Tag 4