Pagelaran Sasana Sumewa yang terletak di alun-alun utara pada awalnya dikenal dengan nama Tratag Rambat. Bangsal yang terhitung luas ini didirikan pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana III sekitar 1749 hingga 1788. Pada awalnya Tratag Rambat hanya berupa bangunan sederhana, bahkan dapat dikatakan jauh dari sentuhan arsitektur. Atapnya hanya berupa anyaman bambu dengan sejumlah tiang penyangga berderet. Sedangkan lantainya masih berupa pasir. Nama Tratag Rambat berasal dari kata tratag yang artinya payon atau atap peneduh, dan rambat yang artinya sama dengan merambat.
Seperti umumnya bangunan dalam kompleks kraton, Tratag Rambat juga mengandung makna simbolis. Dalam pandangan kosmologi Jawa, Tratag Rambat melambangkan kekuasaan dan kewibawaan. Melalui dua unsur kekuatan tersebut harmoni kehidupan kawula diyakini dapat terjaga dari perpecahan maupun berbagai perilaku menyimpang aturan. Konon Tratag Rambat juga memiliki fungsi yang besar. Selain difungsikan saat pisowanan pepatih dalem, para bupati, bupati anom hingga abdi dalem berpangkat lurah, pada hari-hari tertentu juga kerap digunakan raja untuk menyusun kebijakan maupun menetapkan keputusan-keputusan tentang politik kenegaraan, pengadilan, dan acara adat kebudayaan.
Disamping itu Bangsal Tratag Rambat juga difungsikan sebagai tempat untuk rakyat menyalurkan aspirasi atau bahkan protesnya terhadap kebijakan istana. Sampai masa tersebut, Raja merupakan figur sentral penentu bang bang alum aluming praja yang kekuasaannya tak terbatas pada pemimpin pemerintahan tetapi setiap kebijakannya juga berlaku sebagai hukum, disamping pula dianggap sebagai pemilik sah seluruh wilayah beserta seluruh kekayaannya termasuk rakyat. Sistem birokrasi semacam ini sering mengakibatkan aspirasi dari bawah tersumbat hingga memunculkan cara masyarakat kecil menarik perhatian raja dengan cara duduk berjemur dhedhe di alun-alun saat raja sedang siniwaka atau duduk bertahta dihadapan rakyat di Tratag Rambat.
Pengembangan Tratag Rambat
Semasa era Sinuhun Paku Buwana X ( 1893 - 1939 ) protes model kawula tersebut mulai semakin diperhatikan. Bertepatan dengan ulang tahun Susuhunan Paku Buwana X yang ke 48 pada 1913, Tratag Rambat direnovasi menjadi lebih permanen. Konstruksi atap diganti seng berkerangka besi dilengkapi plafon bermotif kembang. Dasar bangunan ditinggikan 1,5 meter dengan lantai ubin dan keseluruhan bangsal disangga 48 tiang cor beton berukuran besar yang jumlah tersebut sama dengan usia Susuhunan PB X saat merenovasi Tratag Rambat.
Tratag Rambat kemudian ditahbiskan dengan nama baru menjadi Pagelaran Sasana Sumewa. Nama Sasana Sumewa berasal dari kata Sasana yang artinya tempat dan Sumewa yang berarti menghadap raja, sehingga secara keseluruhan Pagelaran Sasana Sumewa dapat diartikan sebagai tempat yang luas untuk menghadap raja. Didalam Sasana Sumewa dibuat semacam joglo kecil sebagai tempat duduk raja yang kemudian dinamai Bangsal Pangrawit. Tiang bangunan mempergunakan empat batang kayu jati tua berornamen kasar, merupakan sisa dari rumah-rumahan perahu peninggalan Kraton Jenggala. Sementara sebuah batu andesit hitam yang ditanam di lantai dipercaya sebagai bekas singgasana Hayam Wuruk raja Majapahit.
Sejumlah fasilitas baru ditambahkan di sekeliling Pagelaran. Bangunan di sebelah Timur dinamakan Bangsal Pacekotan, tempat menunggu kawula yang akan memperolah penghargaan. Sebaliknya mereka yang dianggap bersalah atau melakukan kejahatan dikumpulkan dalam bangsal Pacikeran di sisi Barat untuk menunggu keputusan hukuman oleh raja.
Biasanya, wisudan ganjaran ( pemberian pangkat ) diselenggarakan setiap kamis, sedangkan peradilan pada hari senin. Sehubungan dengan hal tersebut di halaman belakang Pagelaran didirikan dua bangunan kembar terletak di sebelah Kori Wijil ( pintu besi menuju ke Sitihinggil ) Bangsal sebelah timur dinamai Martalulut, tempat menghadap para abdi dalem pembawa ganjaran ( hadiah ) dan Bangsal Singanegara di sebelah barat diperuntukkan bagi abdi dalem yang melaksanakan hukuman. Tepat di tengah-tengah tangga Kori Wijil terdapat sebuah batu yang disebut Sela Pamecat. Pada masa lalu batu tersebut dipergunakan oleh abdi dalem Singanegara sebagai landasan untuk memenggal leher para terpidana mati.
Di halaman depan Pagelaran Sasana Sumewa - berada di pojok barat dan timur terletak bangsal Pamandengan untuk parkir kereta kuda raja. Konon di sebelah bangunan tersebut masih terdapat Bangsal Paretan, tempat kereta kebesaran disiapkan ketika raja akan berkeliling kota, namun bangsal ini telah tergusur perluasan jalan. Sementara mengapit jalan masuk ke Pagelaran Sasana Sumewa ditanam dua pohon beringin , masing-masing bernama Waringin Gung ( timur ) dan Waringin Binatur ( barat ). Selain itu juga terpasang tiga pucuk meriam berderet yakni Kyai Pancawara, Kyai Swuh Brasta dan Kyai Segawa Wana. Dua meriam terakhir dipindahkan ke halaman belakang Pagelaran. Bangunan terakhir yang didirikan dalam kompleks Pagelaran Sasana Sumewa adalah Tugu Peringatan genap 200 tahun perpindahan Kraton Kartasura ke Surakarta.Bangunan ini dibuat pada tahun 1869 Jawa atau 1939 Masehi, menjelang akhir pemerintahan Susuhunan Paku Buwana X.
Pada 1 Juli 1975, Pagelaran Sasana Sumewa dipinjamkan sebagai kantor dan perkuliahan UGS ( Universitas Gabungan Surakarta ) dan sempat dipugar atau peremajaan kembali pada 1998. Kini dalam perkembangan jaman, Pagelaran Sasana Sumewa tidak hanya difungsikan untuk acara-acara Karaton saja, namun juga digunakan untuk acara-acara budaya dan masyarakat.