Pasinaon Sejarah

Wewangunan Kraton Surakarta ( Alun-alun kidul )

Museum & Tourism Karaton Surakarta
November 2, 2024

Seluruh lingkup bangunan Keraton yang berawal dari Alun-alun utara hingga Alun-alun selatan sejatinya mengandung makna filosofi tentang perjalanan hidup manusia dari lahir hingga akhir hidupnya ( sangkan paraning dumadi ). Filosofi ini juga melekat pada lingkup Alun-alun selatan ( kidul ) yang dimaknai sebagai tempat kembalinya manusia menuju alam baka atau kelanggengan.

Alun-alun Kidul ( Selatan )

Alun-alun selatan adalah lapangan besar yang penataannya mirip dengan alun-alun Utara. Jika alun-alun utara diibaratkan sebagai halaman depan dari kerajaan maka alun-alun selatan adalah halaman belakangnya atau yang juga disebut sebagai alun-alun pengkeran.

Sitihinggil Kidul - Circa 1910 -1930 ( Collectie Tropen Museum )

Alun-alun selatan memiliki luas yang lebih besar dibanding alun-alun selatan, dengan halaman berumput luas dan penataan bangunan yang lebih sederhana dibanding dengan Alun-alun lor ( utara ). Sepasang pohon beringin ( wringin sengkeran ) ditanam di tengah-tengah alun-alun konon ditanam pada hari pertama ketika Susuhunan Paku Buwana II menempati Keraton Surakarta.1 Penanaman wringin kurung sekembaran atau sepasang beringin di tengah alun-alun selatan dilakukan oleh para Bupati Mancanegara.

Wringin Kurung Sakembaran di Alun-alun Selatan

Secara umum kompleks alun-alun Selatan ini meliputi Sitihinggil Kidul, Bangsal lokomotif atau bangsal penyimpanan kereta pesiar dan kereta jenasah Susuhunan Paku Buwana X serta kandang kebo bule ( kerbau albino ) milik Keraton Surakarta.

Pada era Susuhunan Paku Buwana X, wilayah Alun-alun Kidul juga difungsikan sebagai tempat gladhi ( latihan ) abdi dalem prajurit untuk berlatih senjata juga persiapan untuk upacara hari besar Pasewakan ing dinten Garebeg

Dahulu, alun-alun kidul dipakai untuk latihan abdi dalem prajurit yang dilangsungkan setiap hari Selasa dan Minggu pagi. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X di kompleks Sitihinggil Kidul sering dipakai oleh para kawula ( rakyat ) untuk seba ( menghadap raja ) terutama pada hari-hari besar ( semisal Grebeg ). Para kawula yang berkumpul di Alun-alun selatan adalah para panewu, mantri undhagi, tukang batu, pande serta bawahannya, mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya.2

Di sebelah barat alun-alun Kidul terdapat rumah Patih Jero (Onder Mayor ), serta kandang gajah dan warak.3 Pada masa lalu, gajah-gajah dipergunakan untuk keperluan upacara di Alun-alun Lor ( Utara ). Kini wilayah bekas kandang gajah dan warak telah berubah menjadi pemukiman yang dikenal dengan kampung Gajahan.

Pada era Susuhunan Paku Buwana X, wilayah Alun-alun Kidul juga difungsikan sebagai tempat gladhi ( latihan ) abdi dalem prajurit untuk berlatih senjata juga persiapan untuk upacara hari besar Pasewakan ing dinten Garebeg.4

Daftar pustaka :
1. Serat Sri Radya Laksana, 1889.
2. Soeratman, 1989:170
3.  Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana, Candranagara, 1880
4.. Raja Meda, Kartaasmara, 1922.
Share this post
Tag 1
Tag 2
Tag 3
Tag 4