Mahesa Lawung merupakan upacara sesaji kurban yang diselenggarakan oleh Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai upaya penolak bala untuk keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan negara seisinya. Disebut juga sebagai wilujengan nagari yang artinya merupakan sesaji yang diadakan oleh negara dalam hal ini raja untuk keselamatan negara beserta seluruh isinya. Pada mulanya upacara sesaji ini dikenal dengan Sesaji Rajawedha yang telah banyak dimuat dalam berbagai babad Jawa. Sesaji Rajawedha dengan segala bentuk dan upacara kemudian mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan zaman dan budaya di Jawa.
Sesaji Rajawedha zaman lama.
Upacara untuk ketentraman, keamanan negara dan menjauhi dari poncoboyo yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Jawa sudah terjadi pada tahun 387 M yaitu pada masa pemerintahan Prabu Sitawaka dari Kerajaan Gilingaya disekitar Gunung Prangango Gede Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Prabu Sitawaka, negeri Gilingaya dilanda berbagai musibah dan bencana sehingga menyebabkan negeri seisinya menjadi tidak aman, banyak penyakit berjangkit, dan kerusuhan merajalela. Dalam suasana yang mencemaskan tersebut Sang Prabu menggerakkan semua kawula Gilingaya untuk memasang tumbal dan tolak bala secara bersama-sama. Gerakan memasang tumbal secara bersama-sama tersebut melahirkan sesaji bersama yang dikenal dengan nama Sesaji Rajawedha dan Gramawedha.
Rajawedha adalah sesaji yang diselenggarakan oleh raja untuk negara, sedangkan sesaji Gramawedha adalah sesaji yang diselenggarakan oleh rakyat di seluruh negeri bersama-sama. Dengan adanya sesaji tersebut suasana negeri Gilingaya kemudian menjadi tenang, bencana dan penyakit pun hilang. Bertolak dari pengalaman tersebut, kemudian sesaji Rajawedha dikembangkan para pemimpin di tanah Jawa, sedangkan sesaji Gramawedha dikembangkan oleh para kawula ( rakyat ) menjadi upacara bersih desa.
Rajawedha berubah menjadi Mahesa Lawung
Pada masa Sri Prabu Ajipamasa, Kerajaan Pengging diserang dan diduduki musuh danawa dari Ngima-imantaka. Atas ulah para raksasa tersebut rakyat Pengging sangat menderita. Sri Prabu Ajipamasa kemudian menugaskan Patih Tambakbaya supaya menyiapkan seekor kebolawung beserta perangkat sesaji dan mengadakan wilujengan mahesa lawung ke hutan Krendawahana. Seusai wilujengan, suasananya negeri menjadi aman, tenteram, tidak terjadi gangguan apa pun. Sejak itu wilujengan-nagari Rajaweddha berubah nama menjadi Wilujengan Mahesa Lawung.
Mahesa Lawung zaman Demak
Pada masa pemerintahan Kasultanan Demak Kangjeng Sultan Syah Alam Akbar I ( 1439 ), yaitu Raja tanah Jawa yang mengembangkan agama Islam, adat tata caranya Karaton Kabudhan majapahit sedikit demi sedikit ditinggalkan dan akhirnya tidak diadakan karena dipandang tidak sesuai dengan pranatan dan pandangan hidup baru tersebut. Baru setelah Kesultanan Demak bertubi-tubi dilanda malapetaka sampai menimbulkan kesengsaraan dan keprihatinan mendalam bagi seluruh masyarakat, Sultan Demak menyetujui diadakan Wilujengan nagari berupa Wilujengan Rajawedha ( Mahesa Lawung ) sebagaimana adat Wilujengan yang dilakukan oleh Karaton Majapahit. Dalam rangka pelaksanaan Wilujengan dan Sesaji Rajawedha tersebut, para punggawa praja, Sunan Bonang, dan Sunan Giri ditugaskan mengatur pelaksanaan acara sesuai dengan acara Wilujengan Rajawedha yang pernah dilakukan oleh Karaton Majapahit.
Mahesa Lawung Surakarta.
Sampai pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana II di Kartasura, Sesaji Mahesa Lawung masih dilestarikan seperti waktu-waktu sebelumnya. Perubahan waktu sesaji diadakan setelah terjadi perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta. Sekira 100 hari setelah perpindahan keraton ( Rabu wage, 18 Sura tahun 1670 Jawa ) Sri Susuhunan Paku Buwana II menetapkan tanggal 16 Rabingulakir 1670 sebagai waktu yang tepat untuk menggelar sesaji Mahesa Lawung. Sejak saat itu, sesaji Mahesa Lawung jatuh pada bulan Rabingulakir.
Pada era pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana VI, berbarengan dengan meletusnya perang Diponegoro. Tempat sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahana menjadi lokasi yang digunakan oleh Susuhunan Paku Buwana VI dalam menyokong perjuangan Diponegoro melalui bantuan dana dan logistik. Hutan Krendawahana menjadi ajang pertemuan antara Pangeran Diponegoro, Kyai Maja dan para pejuang wanita. Pasca penangkapan Diponegoro, sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahana ditutup oleh Belanda. Untuk sementara sesaji Mahesa Lawung dialihkan ke Kaliasa, Gunung Lawu ( Arga Dalem ) dan Gunung Merapi ( Kali Mondhokan ). Pada era pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X beliau mengizinkan dimulainya kembali sesaji Mahesa Lawung pada tiap bulan Rabingulakir di hutan Krendawahana ( 1919 ). Upacara Sesaji Mahesa Lawung pun terus dilestarikan hingga sekarang.
Tempat Upacara
Upacara Mahesa Lawung yang diselenggarakan Karaton Surakarta, digelar dengan upacara pemberian sesaji di Krendawahana. Punden Krendawahana dipercaya sebagai salah satu dari empat penjuru penting bagi keraton Surakarta. Pundhen di hutan ini memiliki nilai magis yang kuat sebagai lawang gapit utara tempat bersemayamnya Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati, putri dari Bathari Durga.
Perangkat Sesaji
Media utama dari sesaji yang diberikan adalah kepala kerbau, darah kebo lawung, campuran darah sepasang ayam jantan dan betina, sepasang kaki dan kepala unggas panggang. Selain itu, juga disiapkan hasil alam yang meliputi buah dan umbi-umbian. Turut menjadi sesajen adalah jajan pasar serta “ lele sajodho kendhil ” ( Lele sepasang yang dimasukkan dalam wadah kendhil ). Kendhil harus diisi dengan air “tempuran” atau air dari pertemuan dua arus sungai. Karena air pertemuan dari dua arus sungai memiliki energi yang dapat digunakan sebagai sarana meditasi.
Urutan acara Mahesa Lawung
Prosesi acara dimulai dengan mengusung ubarampe sesaji dari Dalem Gondorasan ke Bangsal Sewayana kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Setelah melakukan upacara di Bangsal Sewayana, maka sesaji akan dibawa ke hutan Krendawahana. Urutan upacara ritual yang diselenggarakan di hutan Krendawahana dimulai dengan menata sesaji di atas pundhen yang berada di bawah pohon beringin putih di tengah hutan yang dipercaya sebagai tempat sakral sekaligus kedhaton dari Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati. Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati merupakan putri Bathari Durga yang dipercaya sebagai penguasa bangsa jin, brekasakan, drubiksa, priprayangan, ilu-ilu, banaspati, wewe, gandarwa, dan berbagai jenis makhluk gaib lainnya.
Setelah sesaji selesai ditata, kemudian salah satu ulama keraton mendapat perintah dari Pengageng Sasana Wilapa untuk membuat perapian, kemudian dimulailah acara ritual dengan pembacaan doa yang oleh ulama keraton dan abdi dalem Suranata. Dilanjutkan dengan pemanjatan doa secara pribadi oleh masing-masing putra sentana yang dilakukan secara bergiliran dengan menaiki pundhen dibawah pohon beringin putih. Upacara berikutnya adalah mengubur kepala kerbau di hutan Krendawahana yang letaknya tidak jauh dengan keberadaan pohon beringin putih, sementara sesaji-sesaji yang lain diturunkan dari atas pundhen dan dibawa ke sebuah pendhapa yang letaknya bersebelahan dengan pundhen tersebut. Sesaji yang telah diturunkan kemudian dibagikan kepada para abdi dalem dan kawula dalem yang mengikuti prosesi ritual sesaji Mahesa Lawung hingga selesai.
Wilujengan Nagari Mahesa Lawung yang digelar di hutan Krendawahana merupakan tradisi turun temurun warisan leluhur yang masih dilestarikan oleh Karaton Surakarta sampai sekarang. Tradisi ini adalah bentuk permohonan doa keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sekaligus doa keselamatan untuk Negara Indonesia dan seluruh rakyatnya.